“Ngabaledog Dogdog Reog” Mewariskan Seni Tradisi Reog Dogdog Sunda
Mewariskan
seni tradisi (terutama Reog Dogdog Sunda-Bandung) di zaman sekarang ini (tahun
2012)
,tidaklah semudah itu. Dikala
Kota Bandung berubah menjadi kota metropolitan, kota pariwisata dan
salah satu kota tujuan tempat berwisata kuliner. Generasi mudanya semakin maju
kota semakin larut akan pengaruh
kesenian dan kebudayaan dari luar negeri yang disebut era keurbanan. Yang secara tidak langsung ABG
(Anak Baru Gede) Kota Bandung identik dengan 3B ‘Behel (kawat gigi), Bleaching
(warna rambut) dan Blackberry’ (HP). Tentu saja, itu semua kebiasaan dan kebudayaan
yang tidak di saring atau di filter oleh kita semua, khususnya generasi muda. Kebudayaan
yang datang dari luar, jika tidak di kaji dan di filter, akan menggusur
kebudayaan asli Indonesia kepinggiran, bahkan menjadi sebuah cerita dan legenda
belaka.
Kesenian
reog merupakan alat musik batang kayu yang di tutup selembar kulit binatang
yang disebut dogdog, seperti gendang yang caranya ditabuh. Kesenian reog ini
diiringi oleh gerakan tari yang lucu-lucu dan lawak dimainkan oleh pelaku itu sendiri. Reog
dahulu biasanya dilakukan untuk pesan-pesan sosial dan keagamaan yang zaman
dahulu dilakukan oleh para wali atau pemukau agama, untuk suatu upacara tradisi atau
ritual. Kesenian reog ini, dimainkan oleh empat orang,
yaitu: seorang dalang yang memegang alat
dogdog yang disebut (talingtingtit) berukuran 20 cm yang mengendalikan
permainan, seorang wakil yang memegang alat dogdog yang disebut panepas (tongtong)
berukuran 25 cm, ditambah pemain ke tiga memegang alat dogdog yang disebut
(bangbrang) berukuran 30-35 cm, ke empat memegang alat dogdog yang disebut (badublag)
berukuran 45 cm.
Didalam
permainan reog, lama permainan berkisar satu jam satu setengah jam. Untuk
membawakan lagu-lagunya saat
ini ada pula penabuh di iringi waditra dengan perlengkapan misalnya,
dua buah saron, gendang, rebab, goong, ada pula gitar dll. Semua itu berfungsi
sebagai pengiring lagu-lagu yang dibawakan pemain reog, sebagai pelengkap.
Di
jaman
sekarang, reog sangatlah berbeda dibandingkan dengan reog zaman dahulu, terlihat
jelas dari jumlah personil dan alat musik yang dipakai sebagai pengiring dalam suatu acara pertunjukan.
Alat
musik yang dipakai untuk permainan reog adalah dogdog ada juga yang menyebut
ogel. Didalam alat musik pengiring reog biasanya bermacam-macam, ada kendang,
goong, terompet, kecapi, dan untuk pengembangan lebih lanjut ada pula di
masukan unsur gitar, keyboard dll.
Di dalam berkeesenian
reog disenangi oleh masyarakat pinggiran, terutama masyarakat pedesaan. Namun
di dalam masyarakat perkotaan hanya sebagian yang menyenangi kesenian reog,
bahkan sama-sekali tidak mengenal. Dikarenakan sedikit yang mengenal,
organisasi reog yang masih ada, sangat sulit untuk dijumpai. Kalaupun ada
mereka hanyalah generasi tua yang mencintai tradisi leluhurnya atau menyenangi
kebudayaannya. Apa lagi soal
pertunjukan, semakin jarang bahkan tidak ada, di sebabkan sangat kurangnya
peminat pada kesenian reog tersebut. Karena kurangnya pengenalan dan pemahaman
akan makna budaya sendiri umumnya, khusus berkesenian. Dikarenakan tidak adanya regenerasi.
Walaupun berkesenian reog
sudah mulai tersisihkan, namun masih banyak warga masyarakat yang peduli dan
mengharapkan agar media masa seperti: Pertelevisian, Koran, internet dll dapat
menayangkan jenis-jenis kebudayaan lokal khususnya seperti reog ini.
Terakhir-terakhir
ini pemerintah Kota Bandung telah mengadakan festival Reog se-Kota Bandung yang
diikuti sekitar 32 grup, yang berkisar 300 orang. Ini menandakan masih ada
perhatian dan keinginan masyarakat warga Bandung untuk mencintai dan
melestarikan budaya sendiri khususnya berkesenian. Tapi itu bukan berarti reog
dan kebudayaan Bandung saja, yang harus di jaga dan di lestarikan. Di
tempat-tempat lainpun, masih banyak kebudayaan yang harus di jaga dan
dilestarikan. Namun semua itu melemah dikarenakan tidak adanya yang
mengkoordinir atau tidak adanya ajang semacam festival untuk menimbulkan
ransangan-ransangan pada masyarakat untuk mencintai dan melestarikan aset
budaya lokal agar tidak tergusur oleh era
keurbanan. ..Asep Kurnia..