arasyaprod's channel

Selasa, Januari 17, 2012


“Ngabaledog Dogdog Reog”  Mewariskan Seni Tradisi Reog Dogdog Sunda

Mewariskan seni tradisi (terutama Reog Dogdog   Sunda-Bandung) di zaman sekarang ini (tahun 2012) ,tidaklah semudah itu. Dikala Kota Bandung berubah menjadi kota metropolitan, kota pariwisata dan salah satu kota tujuan tempat berwisata kuliner. Generasi mudanya semakin maju kota semakin larut akan pengaruh  kesenian dan kebudayaan dari luar negeri yang disebut era keurbanan. Yang secara tidak langsung ABG (Anak Baru Gede) Kota Bandung identik dengan 3B ‘Behel (kawat gigi), Bleaching (warna rambut) dan Blackberry’ (HP). Tentu saja, itu semua kebiasaan dan kebudayaan yang tidak di saring atau di filter oleh kita semua, khususnya generasi muda. Kebudayaan yang datang dari luar, jika tidak di kaji dan di filter, akan menggusur kebudayaan asli Indonesia kepinggiran, bahkan menjadi sebuah cerita dan legenda belaka.
Kesenian reog merupakan alat musik batang kayu yang di tutup selembar kulit binatang yang disebut dogdog, seperti gendang yang caranya ditabuh. Kesenian reog ini diiringi oleh gerakan tari yang lucu-lucu dan lawak  dimainkan oleh pelaku itu sendiri. Reog dahulu biasanya dilakukan untuk pesan-pesan sosial dan keagamaan yang zaman dahulu dilakukan oleh para wali atau pemukau agama, untuk suatu upacara tradisi atau ritual. Kesenian reog ini, dimainkan oleh empat orang, yaitu:  seorang dalang yang memegang alat dogdog yang disebut (talingtingtit) berukuran 20 cm yang mengendalikan permainan, seorang wakil yang memegang alat dogdog yang disebut panepas (tongtong) berukuran 25 cm, ditambah pemain ke tiga memegang alat dogdog yang disebut (bangbrang) berukuran 30-35 cm, ke empat memegang alat dogdog yang disebut (badublag) berukuran 45 cm.
Didalam permainan reog, lama permainan berkisar satu jam satu setengah jam. Untuk membawakan lagu-lagunya saat ini ada pula penabuh di iringi waditra dengan perlengkapan misalnya, dua buah saron, gendang, rebab, goong, ada pula gitar dll. Semua itu berfungsi sebagai pengiring lagu-lagu yang dibawakan pemain reog, sebagai pelengkap.
Di jaman sekarang, reog sangatlah berbeda dibandingkan dengan reog zaman dahulu, terlihat jelas dari jumlah personil dan alat musik yang dipakai sebagai pengiring dalam suatu acara pertunjukan.
Alat musik yang dipakai untuk permainan reog adalah dogdog ada juga yang menyebut ogel. Didalam alat musik pengiring reog biasanya bermacam-macam, ada kendang, goong, terompet, kecapi, dan untuk pengembangan lebih lanjut ada pula di masukan unsur gitar, keyboard dll.
Di dalam berkeesenian reog disenangi oleh masyarakat pinggiran, terutama masyarakat pedesaan. Namun di dalam masyarakat perkotaan hanya sebagian yang menyenangi kesenian reog, bahkan sama-sekali tidak mengenal. Dikarenakan sedikit yang mengenal, organisasi reog yang masih ada, sangat sulit untuk dijumpai. Kalaupun ada mereka hanyalah generasi tua yang mencintai tradisi leluhurnya atau menyenangi kebudayaannya.  Apa lagi soal pertunjukan, semakin jarang bahkan tidak ada, di sebabkan sangat kurangnya peminat pada kesenian reog tersebut. Karena kurangnya pengenalan dan pemahaman akan makna budaya sendiri umumnya, khusus berkesenian.  Dikarenakan tidak adanya regenerasi.
Walaupun berkesenian reog sudah mulai tersisihkan, namun masih banyak warga masyarakat yang peduli dan mengharapkan agar media masa seperti: Pertelevisian, Koran, internet dll dapat menayangkan jenis-jenis kebudayaan lokal khususnya seperti reog ini.
Terakhir-terakhir ini pemerintah Kota Bandung telah mengadakan festival Reog se-Kota Bandung yang diikuti sekitar 32 grup, yang berkisar 300 orang. Ini menandakan masih ada perhatian dan keinginan masyarakat warga Bandung untuk mencintai dan melestarikan budaya sendiri khususnya berkesenian. Tapi itu bukan berarti reog dan kebudayaan Bandung saja, yang harus di jaga dan di lestarikan. Di tempat-tempat lainpun, masih banyak kebudayaan yang harus di jaga dan dilestarikan. Namun semua itu melemah dikarenakan tidak adanya yang mengkoordinir atau tidak adanya ajang semacam festival untuk menimbulkan ransangan-ransangan pada masyarakat untuk mencintai dan melestarikan aset budaya lokal agar tidak tergusur oleh era keurbanan. ..Asep Kurnia..